Infrastruktur dan Kepastian Hukum

| Print |

book

MENYUSUL penyelenggaraan Infrastructure Summit, Januari 2005, Pemerintah Indonesia mulai menyelenggarakan proses tender untuk sejumlah proyek infrastruktur. Penyelenggaraan proyek infrastruktur diharapkan dapat meningkatkan kinerja perekonomian dengan menarik investasi langsung dan penciptaan lapangan kerja.

Guna menarik perhatian pemodal asing,pemerintah perlu menyikapi satu penghalang mendasar bagi mereka, yaitu masih lemahnya tingkat kepastian dalam sistem hukum kita. Sejak 1999, penanaman modal asing langsung (direct investment) yang masuk

Sekretariat ASEAN 2004 menyebutkan, penanaman modal asing langsung (foreign direct investment) di Indonesia 1999-2003 adalah 2,745 juta dollar AS (1999); 4,550 juta dollar AS (2000); 3,279 juta dollar AS (2001); 145 juta dollar AS (2002); dan 596 juta dollar AS (2003). Penurunan terutama disebabkan oleh ketidakpastian aneka peraturan, menyangkut persoalan kontrak dan pelaksanaannya oleh instansi yang berwenang.

Masyarakat dalam negeri dan internasional sudah terlalu sering menyaksikan ketidakjelasan dan inkonsistensi peradilan kita dalam membuat keputusan yang cenderung sering memutarbalikkan fakta dan keabsahan suatu transaksi hukum. Kita perlu segera melakukan reformasi atas aneka lembaga hukum dan menunjukkan kepada masyarakat pemodal di dalam dan luar negeri bahwa kita melakukannya secara konsisten.

Target pertumbuhan

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 7,9% hingga 2009. Pertumbuhan akan dicapai melalui investasi modal dan konsumsi dalam negeri. Pertumbuhan dengan tingkat itu amat penting guna mengurangi separuh jumlah pengangguran dalam waktu empat tahun. Tingkat konsumsi dalam negeri kini tidak akan mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup, dan ini jelas memberi tekanan kepada Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi baru, khususnya dari luar negeri, guna menutup kekurangan.

Namun, kita menghadapi persaingan ketat arus modal asing dari Thailand, ina, India, Malaysia, bahkan Vietnam. Berdasar laporan Sekretariat ASEAN, Vietnam berhasil menarik modal investasi asing sebesar 14,6 miliar dollar AS dibanding Indonesia 3,84 miliar dollar AS antara 1995 dan 2003. Angka itu bertolak belakang dengan kenyataan, skala dan tingkat perekonomian Indonesia jauh lebih besar dan upah tenaga kerja sedikit lebih tinggi dari Vietnam. Antara tahun 2003 - 2004, berdasar data Asian Development Bank, hanya 25 persen total kebutuhan pendanaan di Indonesia berasal dari penanaman modal langsung (dibanding pinjaman perbankan dan pendanaan obligasi), dibanding 45 persen di Malaysia, 57 persen di Singapura, dan 73 persen di Hongkong. Studi yang baru dilakukan Asian Development Bank, JBIC, dan Bank Dunia, Maret lalu, yang berjudul Connecting East Asia: A New Framework for Infrastructure juga menyatakan, tingkat kepastian kebijakan dan peraturan pemerintah yang merupakan salah satu prasyarat penting menarik investasi langsung untuk proyek infrastruktur. Laporan juga mengatakan, tidak adanya kepastian hukum, inkonsistensi peraturan, sistem peradilan, dan korupsi menghambat investasi sektor Infrastruktur.

Arus modal asing akan meningkat seiring keseriusan Indonesia dalam menciptakan sistem hukum yang adil dan menyeluruh. Hal ini tentu harus diikuti tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi pada seluruh lembaga hukum yang dapat menciptakan kepastian di kalangan masyarakat investor dalam dan luar negeri, termasuk perbankan dalam negeri, yang menuntut kinerja institusi hukum yang andal dan efektif untuk dapat mengurangi dampak dari risiko investasi di Indonesia. Jika hal ini tidak dilakukan segera, pemerintah memiliki risiko untuk tidak dapat memenuhi target pertumbuhan ekonominya.

Kegagalan dalam melaksanakan rangkaian perubahan mengakibatkan pemerintah menyediakan tambahan jaminan (akan berdampak pada APBN) guna menarik investor asing menanamkan modalnya ke proyek-proyek infrastruktur inti. Jaminan tambahan akan lebih berguna bagi pemerintah guna memenuhi kebutuhan pokok publik terhadap biaya kesehatan, pendidikan, penanganan bencana alam, dan program lain, dibanding untuk jaminan proyek Infrastruktur.

Kepastian hukum

Isu tentang reformasi maupun kepastian hukum bukan hal baru. Pemerintah bahkan telah mengeluarkan sejumlah peraturan sebagai bagian proses reformasi hukum. Permasalahannya terletak pada lemahnya konsistensi pelaksanaan peraturan itu di lapangan. Investor sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka keputusan persidangan sering tidak konsisten dalam menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia.

Selain itu, pengadilan di Indonesia khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sering dengan sengaja atau tidak mengabaikan isi perjanjian yang berlaku di antara pihak terkait, termasuk dalam sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan. Sikap lembaga peradilan yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu memberi sinyal negatif atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan reformasi hukum dan penegakan keadilan. Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Prudential, PT Danareksa Jakarta, PT Tripolyta, dan Asia Pulp & Paper serta anak perusahaannya, di Indonesia menggambarkan ketidakpedulian lembaga pengadilan terhadap legitimasi transaksi komersial yang dibuat berdasar perjanjian internasional. Kondisi ini menimbulkan dampak besar terhadap tingkat risiko Indonesia di pasar modal internasional dan atas arus modal langsung.

Reformasi lembaga

Reformasi di tingkat lembaga memerlukan waktu, sayang tidak banyak waktu yang tersedia. Risiko hukum dalam melakukan transaksi komersial di Indonesia terus meningkat ditandai permintaan kupon obligasi yang lebih tinggi serta tingkat pengembalian modal yang tinggi. Biaya hukum dan kepatuhan (compliance) di Indonesia terus meningkat yang disebabkan ketidakpastian dan inefisiensi atas proses hukum.

Fakta bahwa Indonesia adalah satu-satunya anggota inti ASEAN yang mengalami arus penanaman modal asing yang negatif 1999 dan 2003 menunjukkan pentingnya pelaksanaan reformasi lembaga peradilan sesegera mungkin sebagai bagian proses reformasi kebijakan menyeluruh untuk menarik modal asing. Dalam Infrastructure Summit, Januari 2005 lalu, Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan, pemerintah akan melaksanakan proses reformasi hukum sebagai bagian program pengembangan infrastruktur menyeluruh.

Indonesia harus menyadari kini dunia terus mengamati proses reformasi itu. Pemerintah memiliki mandat kuat dan perlu menunjukkan kesungguhan dan komitmen dalam melakukan reformasi kelembagaan hukum sesegera mungkin.

Tugas ke depan akan amat berat. Untuk itu dibutuhkan satu road map untuk proses reformasi dengan sasaran yang realistis dan dapat dicapai. Dengan pelaksanaan road map yang realistis, pemerintah akan mengirim sinyal kuat akan komitmen dan kesungguhan untuk melakukan proses reformasi di Indonesia.

Kompas, Selasa, 14 Juni 2005