joomla templates
A+ R A-

Quo Vadis Negara Hukum (Indonesia)

book

Para pendiri negara ini dengan sadar mendirikan sebuah republik, bukan kerajaan, yang tunduk pada hukum, bukan pada kekuasaan, dan karena itu republik Indonesia ini disebut sebagai negara hukum (rechstaat). Tersirat disini gagasan bahwa di negeri ini akan bersemai persamaan dan kesamaan, keamanan dan ketertiban serta keadilan sosial. Pancasila, pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan yang terdiri dari 5 (lima) sila adalah nilai-nilai ideal yang luhur yang kalau terlaksana pastilah akan membawa Indonesia menjadi negeri yang kaya raya, aman tenteram dan berkeadilan . Bumi Indonesia yang kaya raya ini tak perlu membuat kita dan anak cucu kita berhutang pada berbagai negara dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Tetapi apa yang terjadi? Negeri ini dililit hutang yang tak tahu kapan akan terlunasi, jumlah orang miskin dan kelaparan masih puluhan juta, anak-anak usia sekolah banyak yang tak bisa meneruskan sekolah mereka, keadilan masih sebatas mimpi.

Saya tak bermaksud memberi jawaban yang komprehensif tentang kondisi rakyat kita yang masih belum sepenuhnya termanusiakan. Dalam kesempatan ini saya hanya akan menjelaskan bahwa salah satu akar masalah semua persoalan kemiskinan dan ketidakadilan yang kita hadapi adalah tidak berfungsinya negara hukum. Rule of Law yangselama lebih dan 30 tahun ditunggangi oleh kekuasaan otoriter temyata sekarang dibawah pemerintahan yang demokratis masih juga belum berfungsi. Polisi masih banyak menyalahgunakan kekuasaannya, banyak jaksa masih terus memeras pencari keadilan, dan banyak hakim yang menelikung keadilan. Tidak heran kalau di berbagai penerbitan koran kita membawa keluhan dan kemarahan banyak orang tentang prilaku para aparat penegak hukum yang memalukan. Jajak pendapat yang diadakan harian Kompas beberapa waktu yang lalu menunjukkan tingginya tingkat ketidak puasan masyarakat terhadap kinerja kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Komisi Pemberantasan Korupsi . Untuk jelasnya sebagian dari hasil jajak pendapat itu kami tampilkan di bawah ini:

Sumber : Kompas, 26 Juni 2006

Apa artinya semua table diatas? Artinya korupsi tetap merajalela, dan kumulasi dari korupsi inilah yang membuat ekonomi negeri ini porak poranda. Celakanya korupsi ini terjadi di jantung rumah-rumah hukum dan keadilan yang seharusnya menjadi mata air keadilan. Mari kita simak beberapa kisah korupsi dan pengkhianatan akan keadilan dari sejumlah aparat penegak hukum.

 

Polisi.

Cukup banyak kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dari polisi yang menyakitkan hati seperti yang diberitakan oleh Koran Tempo dibawah ini:

”Komisaris Besar Polisi Irman Santosa divonis dua tahun delapan bulan penjara. Mantan Kepala Unit II Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri itu dinilai terbukti melakukan korupsi karena menerima hadiah yang terkait dengan jabatannya.

Irman menerima uang US$ 350 ribu dari Adrian Waworuntu melalui Dicky Iskandar Dinata saat menyidik kasus BNI, kata Yohannes E. Binti, ketua majelis hakim, membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin.

Irman adalah ketua tim penyidik kasus letter of credit (L/C) fiktif BNI Cabang Kebayoran Baru. Saat penyidikan, Irman memerintahkan Ajun Komisaris Komalasari dan Ajun Komisaris Siti Zubaidah memeriksa Dicky sebagai saksi Adrian dalam kasus BNI.

Hakim Yohannes juga mengatakan Irman menerima 10 lembar traveler's cheek senilai Rp 250 ribu dari Direktur Kepatutan BNI Al. Arsyad. Traveler's check itu sebagai imbalan keberhasilan Inman dan timnya melakukan recovery kasus Bank Pembangunan Daerah di Bali

 

Jaksa.

Cerita tak sedap mengenai jaksa yang memeras terdakwa adalah cerita yang akrab di telinga seperti yang dikutipkan di bawah ini:

”Kericuhan dan tudingan ada suap mewarnai sidang pembacaan vonis atas Ahmad Djunaidi, terdakwa kasus korupsi di PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Saat itu, vonis baru saja dibacakan. Hakim mengganjar Djunaidi, bekas Direktur Utama Jamsostek, hukuman 8 tahun penjara. Mendengar vonis ini, Djunaidi kalap. Ia berdiri, lalu mengambil papan nama bertulisan 'Penuntut Umum' di meja jaksa dan membuat gerakan mengancam ke arah jaksa Heru Chairuddin. Saat itu Heru baru saja selesai menyatakan banding.

Gerakan cepat Djunaidi tak urung membuat Heru terkejut. Ia buru-buru menghindar sambil membuat gerakan menangkis. Pada saat yang sama, beberapa petugas pengadilan segera meringkus Djunaidi.

Gagal melampiaskan amarahnya, Djunaidi berteriak. Dengan suara tinggi dia menuding Heru menerima suap Rp 600 juta. 'Saya serahkan Rp 600 juta ke kejaksaan negeri, jaksa penuntut umum, dan kejaksaan agung' katanya. Djunaidi terus 'bernyanyi, bahwa uang tunai itu is setorkan dua kali.......

Satu kisah lagi terjadi di Surabaya seperti yang tertulis di bawah ini:

"Ada pula kisah jaksa memeras. Aktornya bernama Syamsul Alam, jaksa di Kejaksaan Negeri Surabaya. September 2004, Syamsul dilaporkan memeras Andi Achmadi, terdakwa kasus penggelapan tanah. Yang melapor, ya, korban sendiri. Pasalnya, korban merasa ditiipu. Uang suap Rp 75 jua melayang, eh, hukuman masih saja berat.

Padahal, kata Andi, Syamsul menjanjikan bisa mengatur hukuman. Sedianya jaksa akan menuntut 10 bulan, dan putusannya lima bulan penjara. Ternyata, jaksa menuntutnya empat tahun penjara, dengan hasil vonis tiga tahun kurungan. Atas kasus ini, Syamsul langsung diperiksa atasannya serta dimutasi ke pos tanpa perkara”.

 KPK

Lembaga baru KPK dibebani tumpukan harapan agar tak ikut korupsi, tetapi ternyata tak kuat juga menahan godaan seperti yang tertulis di bawah ini:

”Bagai bola salju yang menggelinding, kasus Industri Sandang Nusantara terus membesar dan merambat kemana-mana, menembus tembok gedung Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kasus penjualan asset Industri Sandang telah membuat petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pusing tujuh keliling. Citra lembaga itu tercoreng. Kasus Industri Sandang seperti menjadi krikil yang menyandung kiprah terpuji KPK selama dua tahun terakhir. Emas yang sudah ditoreh itu tiba-tiba luntur karena ulah seorang penyidiknya.

Adalah Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suparman yang menorehkan tinta hitam di tubuh KPK itu. Sebagai penyidik di sana, Suparman semestinya memberikan contoh betapa pentingnya komitmen penyidik dalam pemberantasan korupsi. Sebab, itulah misi dan yargon yang diemban Komisi dimana Suparman bertugas. Sayang, di balik tugas mulianya memeriksa orang-orang yang diduga terkait korupsi, Suparman justru mencari keuntungan pribadi. la ditangkap sendiri oleh KPK karena diduga melakukan pemerasan terhadap saksi kasus Industri Sandang”

Kasus suap terhadap penyidik KPK ini terbongkar karena laporan dari saksi yang mengaku diperas sebesar Rp 100 juta.

Hakim

Di kalangan hakim cerita tentang snap dan pemerasan cukup banyak terdengar, baik pada tingkat Pengadilan Negeri sampai pada Mahkamah Agung. Mari kita baca beberapa berita di bawah ini:

"Kisah paling gres adalah dugaan pemerasan yang melibatkan Herman Allositandi, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Herman bersama panitera Jimmy Lumanouw diduga hendak memeras Walter Sigalingging, saksi dalam perkara dugaan korupsi dengan terdakwa Ahmad Djunaidi, mantan Direktur Utama PT Jamsostek.

Nilai ’proyek’ pemerasan itu lumayanlah: Rp 200 juta. Apes, aksi mereka terendus pihak berwajib. Yang bikin kalangan hakim terperangah, Herman tanpa ampun dicokok petugas Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tastipikor). Suatu hal yang amat jarang terjadi.

 

Herman diamankan senin pekan lalu, menyusul Jimmy Lumanouw yang ditangkap lima hari sebelumnya. Mereka kini mendekam di tahanan Mabes Polri

Pada tingkat Mahkamah Agung terkuak berita yang sangat mengejutkan dan menyakiti sense of justice kita:

”Dalam beberapa hari terakhir, nama pengacara dan mantan hakim tinggi Harini Wiyoso serta beberapa pegawai Mahkamah Agung, seperti Pono Waluyo (staf bagian kendaraan MA), begitu akrab di telinga para pemerhati hukum di negeri ini. Melambungnya nama�-nama tersebut terkait dengan penggeledahan gedung MA oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada pengujung September lalu. Dalam penggeledahan tersebut, KPK menangkap Harini dan Pono dkk serta menyita uang US$ 500 ribu.

Dari pengakuan Harini dan Pono dkk, uang US$ 500 ribu akan digunakan untuk memuluskan kasasi pengusaha Probosutedjo dalam kasus korupsi dana reboisasi di Kalimantan Selatan senilai RP 100,9 miliar. Tidak cukup sampai disitu, dalam perkembangan berikutnya, Probosutedjo mengakui bahwa dia telah menghabiskan Rp 16 miliar demi mendapat vonis bebas. Perinciannya adalah Rp 10 miliar pada peradilan tingkat pertama dan banding serta Rp 6 miliar pada tingkat kasasi. Di tingkat kasasi, Probosutedjo mengaku diminta uang oleh Harini Wiyoso sebesar Rp 5 miliar untuk diberikan kepada Ketua MA Bagir Manan dan Rp 1 miliar untuk pegawai MA (Koran Tempo, 14/10)

Kisah-kisah tersebut diatas bukanlah fiksi. Dia diberitakan di Koran dan majalah kita hampir setiap hari. Dimana-mana prilaku bobrok aparat penegak hukum diungkap sehingga harapan untuk memperoleh keadilan itu nampaknya begitu terjal dan mahal, malah mungkin tak tergapai. Benarlah kata orang bahwa keadilan (justice) dan hukum telah jadi komoditi yang diperdagangkan. Inikah negara hukum (rechtstaat) yang kita dambakan?

Penggembosan negara hukum?

Tidak terlalu salah untuk curiga dan cemas tentang nasib negara hukum. Kejadian-kejadian hukum yang hadir di depan mata kita bisa membuat kita pesimis seolah telah terjadi penggembosan negara hukum. Ada semacam perlawanan dari dalam tubuh aparat hukum itu sendiri terhadap semua reformasi hukum yang tengah terjadi setelah rejim otoriter Orde Baru lengser. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial telah membatalkan semua pasal pengawasan terhadap para hakim . Putusan ini menurut hemat saya bertentangan dengan semangat reformasi hukum yang kita dengungkan sejak lama. Akibatnya pengawasan terhadap hakim hanya tergantung pada mekanisme internal pengadilan yang memang selama ini justru menjadi sasaran kritik karena tidak pernah berjalan. Menjadi hakim dengan toga dan palu adalah menjadi ’kekuasaan’ yanghidup dalam suatu situasi yang sering disebut sebagai ’lawlessness’.

Sesungguhnya pada jaman reformasi ini kita berada dalam situasi dimana peluang untuk melakukan dekonstruksi terhadap tatanan hukum kita terbuka lebar. Lembaga-lembaga hukum yang selama ini menjadi antek kekuasaan dapat ditransformasikan menjadi lembaga�-lembaga yang melaksanakan hukum dan keadilan. Cikal bakal Rule of Law, bisa juga ditafsirkan sebagai 'public and positive law'telah tersedia seperti yang dikatakan oleh Roberto Mangabeira Unger,

”The conditions under which public and positive rules become prominent in a society’s normative order may be divided into two chief categories: the separation of state and society, and the disintegration of community”

Jatuhnya pemerintahan Orde Baru menghadirkan dua kondisi ini yaitu munculnya garis pemisah antara negara dan masyarakat serta gejala keterpecahan masyarakat. Keadaan ini seyogyanya melahirkan kebutuhan (need) akan lahirnya negara hukum yangdituntun oleh Rule of Law. Dalam pengalaman historis negara-negara modern dalam kondisi seperti ini lahir dua kondisi yang mendorong menguatnya Rule of Law yaitu apa yang disebut `interest group pluralism'dan `higher universal or divine law. Disinilah dekonstruksi atas sistem hukum yang korup dan personal bisa mulai dilakukan kearah hukum modern yangpositif dimana berlaku asas universalitas, impersonalitas dan prediktabilitas. Dengan kata lain kita seyogyanya sudah memulai suatu proses rekonstruksi negara hukum yangberdasar Rule of Law.

Untuk bersikap adil terhadap sejarah, saya harus mengakui bahwa pada awal jaman reformasi ini proses dekonstruksi dan rekonstruksi ini berjalan cepat dan memberi banyak harapan. Dari perspektip legislasi kita melihat begitu banyak produk perundangan yang baru termasuk amendemen terhadap produk perundangan yang lama. Antara lain kita melihat lahirnya UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman , UU No 8/2004 tentang Peradilan , UU No 5/2004 tentang Mahkamah Agung dan UU No 9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara . Selain itu telah pula dilahirkan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU NO 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial. Masih banyak lagi produk perundangan yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung tetapi ini semua membuktikan adanya ’political will’ untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi ke arah terciptanya suatu negara hukum dengan ideologi Rule of Law.

Gerakan dekonstruksi dan rekonstruksi ini di dorong dengan sangat kuat oleh pers bebas dan civil society yang berhasil melakukan amendemen yang cukup komprehensif dan mendasar terhadap UUD 1945 yang selama ini diperlakukan sebagai konstitusi yangsakral tak bisa dirubah. Tentu konstitusi baru yang ideal dan sangat reformis tak berhasil dicapai, dan ini adalah realitas politik dimana pun. Perubahan konstitusi di Afrika Selatan dan Thailand yang sering dijadikan rujukan juga tak semuanya sempurna. Jadi UUD 1945 setelah diamendemen adalah hasil maksimal yang memberi landasan bagi lahirnya suatu negara baru yangdemokratis, decentralized, hormat terhadap hak asasi manusia dan tunduk kepada Rule of Law

Harapan itu nampaknya mulai memudar. Negara hukum mulai gembos karena pilar-pilar penegakan hukum tak mampu melepaskan dirinya dari jeratan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Begitu banyak putusan pengadilan yang tak sesuai dengan hukum dan keadilan yang mengusyik nurani kita. Begitu banyak prilaku aparat penegak hukum yang mengkhianati hukum itu sendiri. Kita memang melihat munculnya suatu perlawanan dari dalam tubuh lembaga penegakan hukum yang berkolaborasi dengan pelaku�-pelaku korupsi di masyarakat. Beberapa permohonan dan keputusan atas judicial reviewmenunjukkan satu kecenderungan yang memprihatinkan seperti halnya dalam putusan tentang UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU tentang Komisi Yudisial . Sekarang juga tengah berlangsung suatu proses judicial review terhadap UU NO 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimohonkan oleh Mulyana W. Kusuma, seorang yang sedang menjalani hukuman penjara karena tuduhan korupsi. Buat saya kesemua ini adalah bukti-bukti bahwa prilaku dan cara pandang aparat penegak hukum tengah sangat defensive dan cenderung reaksioner. Mahkamah Konstitusi, misalnya, hanya pada dua tahun pertama bersikap revolusioner. Ironisnya, sekarang Mahkamah Konstitusi sudah mulai bersikap reaksioner karena kegenitan untuk berpolitik dan rentannya terhadap tekanan politik. Mahkamah Konstitusi tidak melakukan apa yang disebut sebagai ’constructive interpretation’walaupun pada sisi lain tidak terlalu mengikatkan diri pada penafsiran ’original intent’.

Kenapa perjalanan negara hukum kita ini tidak seperti yang terjadi di negara-negara Eropa yang juga pemah mengalami sejarah seperti kita. Terkadang saya tidak mengerti melihat kekuatan klas menengah dan para pedagang di negeri ini yang justru tidak cukup mendorong perkuatan ideologi Rule of Law. Saya khawatir bahwa para pedagang kita tak memiliki apa yang oleh Michael E. Tigar dan Madeleine R. Levy disebut sebagai ’competing legal idelogy’. Padahal interaksi antara kelompok bangsawan yang feudal dengan para pedagang yang lebih memihak pasar bebas pada ujungnya selalu mengarah kepada penciptaan hukum yang menjamin kebebasan perdagangan seperti yang terjadi di Inggeris misalnya,

"The English pattern was repeated, with variations, elsewhere: an alliance between crown and merchants, the latter supporting the legislative and judicial power of the former in order to obtain uniform laws favorable to trade throughout a large area. The merchant repaid this debt by paying taxes and customs duties and in many cases by making huge loans to the crown to carry on military policy abroad. These military policies might in turn --- and usually did --- benefit the merchants at home

Interaksi ini dalam perjalanan sejarah yang panjang akan mengarahkan bahwa “law becomes the creature of the economically powerful, elaborated by a class hired by them and working in their interest.Disini dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berinteraksi itu sesungguhnya adalah mereka yang punya kepentingan dengan perdagangan dan sistem ekonomi pasar yang terdiri dari kerajaan, pedagang dan professional (lawyers). Kapitalisme itu lahir dalam sejarah sosial politik yang tegang tetapi juga karena sistem ekonomi pasar itu mensyaratkan juga prediktabilitas maka peran lembaga penegak hukum menjadi instrumental apalagi karena berlakunya sistem precedent. Kalau kita hendak jujur, warisan pergumulan antara pedagang inilah yang sekarang melahirkan rejim hukum ekonomi internasional yang sangat pro-pedagang seperti yang ditunjukkan oleh aturan-aturan World Trade Organization.

Kesulitan kita di Indonesia adalah karena kaum pedagang kebanyakan adalah pedagang yang bisnisnya tergantung pada negara, bukan klas pedagang yang mandiri. Kalau pun ada pedagang yang tak tergantung pada negara maka pengaruhnya tak seberapa. Apalagi ‘competing legal ideology’ disini tak berkemampuan banyak untuk bersaing. Akibatnya buah keadilan yang terdiri atas ‘procedural justice’ dan ‘substantive justice’seperti yang diungkapkan oleh Unger tak tercapai dengan utuh .. Contoh yang paling segar dalam benak kita mungkin dapat dilihat pada persidangan Harini Wiyoso di Pengadilan Anti-Korupsi yang secara prosedural dan substansi mengandung banyak sekali kelemahan. Untuk pertama kali kita melihat hakim-hakim ’walk out’meninggalkan persidangan. Kejadian lain terjadi pada sidang perkara korupsi Daan Dimara yang juga menimbulkan banyak sekali pertanyaan tentang pelanggaran prosedural yang dilakukan oleh para hakim yangmenyimpang dari pakem beracara.

Tidak bisa disangkal bahwa rasa cemas itu semakin menguat. Saya juga tak bermaksud mengatakan bahwa jalan yang ditempuh di Eropa harus ditempuh bulat-bulat oleh sejarah hukum kita. Tetapi interaksi antara kekuasaan dan para pedagang dalam proses pembentukan hukum (law making) dan dikukuhkan melalui precedents(yurisprudensi) oleh profesi hukum apabila disertai dengan lahirnya ’competing legal ideology’ maka bukan mustahil negara hukum ini akan terwujud seperti yang diinginkan oleh para pendiri negara ini. Akibatnya, meski kita pernah berharap bahwa reformasi hukum di negeri ini membawa masa depan yang menjanjikan tetapi apa yang terjadi sesungguhnya adalah apa yang disebut oleh Sebastian Pompe sebagai institutional collapse,’. Disini memang Pompe lebih bicara tentang lembaga Mahkamah Agung tetapi tidak ada salahnya kalau kita juga turut khawatir tentang nasib lembaga penegak hukum lainnya.

Apakah gagasan negara hukum memang sedang mengalami penggembosan? Banyak kalangan terutama penguasa akan membantah hal ini secara terbuka. Tetapi apakah kita tidak khawatir melihat serangkaian pengkhianatan terhadap keadilan yang terjadi yang justru dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri? Mereka lupa pada semua kata-kata yang tertulis dalam bagian "menimbang' pada semua Undang-Undang tentang lembaga-lembaga penegak hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan, Peradilan dan Mahkamah Agung yang berbunyi:

”bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat, yang tertib, bersih, makmur dan berkeadilan”

 Legal Ideology and Jurisprudence of Insurgency
Kalau dikatakan bahwa Indonesia tidak memiliki ideologi tentu pernyataan ini tak sepenuhnya benar. Negara mana yang tak memiliki ideologi? Banyak orang menafsirkan bahwa Pancasila adalah ideologi yangdianut di negeri ini, dan tentu sebetulnya Pancasila itu harus dikaitkan dengan UUD 1945 yang memuat semua hal yang merupakan dasar dan falsafah negara, kumpulan perangkat nilai-nilai dan mimpi-mimpi mau kemana negara ini mau dibawa. Saya kira rumusan ini sama dengan pengertian ’legal ideology’ yang didefinisikan dengan sederhana oleh Tigar and Levy,

"A legal ideology is a statement, in terms of a system of rules of law, of the aspirations, goals, and values of a social groups"

Karena itu “a legal ideology may be expressed as volumes of laws, rules, and judgments; or, as was the case in the earliest urban communes, it may consist of a few simple precepts and then the all important provision of who is competent to make rules and issue-orders.Dalam kaitan ini kalau kita menelaah semua peraturan perundangan yang lahir di negeri ini kita bisa bertanya apakah semuanya sejalan selaras dengan ideologi negara yangtermaktub dalam Pancasila dan UUD 1945? Saya kira jawabannya tak lah terlalu sukar yaitu banyak sekali produk perundangan kita yang tak jelas landasan ideologinya meski dalam semua produk perundangan menyebut dan mendasarkan diri pada Pancasila dan UUD 1945. Tidak berlebihan jika kita katakan bahkan dalam beberapa produk perundangan kitsa melihat sikap authoritarianyang berkiblat kepada dominannya faham ’security and order’ yang menggerus hak-hak asasi manusia, yang menegasikan hak ekonomi rakyat, yang melecehkan persamaan dan kesamaan, yang masih keras semangat dengan patriarki . Kemajemukan (pluralisme) masyarakat pun di tenor dengan berbagai Peraturan Daerah (Perda).

Adalah benar bahwa tafsir ideologi itu sangat tergantung pada mulut kekuasaan. Namun sesungguhnya mulut kekuasaan itu kan merupakan manifestasi dari suara-suara yang bergetar dari sanubari rakyatnya. Apakah rakyat negeri ini sedemikian ndablek? Atau memang ideologi Pancasila dan UUD 1945 itu begitu rentan sehingga bisa bersifat manipulatif? Saya khawatir, karena kita memang bangsa yang tidak tegas, bangsa yang terombang-ambing dalam perkelahian ideologi sehingga tak bersedia memilih, malah sebaliknya merangkul keduanya. Pada awalnya saya memang ragu, dan melihat negeri ini sebagai bangsa yang peragu, bangsa yang terlalu terbuai oleh kekayaan dan keindahan alamnya. Tidak tegar. Akibatnya Indonesia menjadi lahan yang sangat subur untuk bersemainya kekuasaan authoritarianyang pintar membius rakyatnya sehingga terjadilah apa yang oleh Parakitri Simbolon disebut sebagai a heap of delusions. Coba kita simak apa yang diuraikannya:
"Indonesia membangun dengan fundamental ekonomi yang seolah-olah kuat; dengan politik yang seolah-olah stabil; dengan pemerintah yang seolah-olah bersih dan kompeten; dengan politikus yang seolah-olah negarawan; dengan ABRI yang seolah-olah satria; dengan pengusaha yang seolah-olah captains of industry; dengan kemewahan seolah-olah kaya raya; dengan orang sekolahan yang seolah-olah cendekia; dengan ahli hukum yang seolah�olah pendekar keadilan; dengan pengajar yang seolah-olah guru; dengan pelajar yang seolah-olah murid; dengan agamawan yang seolah-olah religius; dengan masyarakat yang seolah-olah ramah-tamah "

Seandainya sikap ragu dan bimbang itu tak terlalu berakar, seandainya bangsa ini cerdas memilih, maka ideologi hukum kita akan menjadi rujukan yang dapat membuat bangsa ini tak akan terpuruk miskin dan menderita. Tapi karena kekuasaan yang memberangus cita-cita keadilan dan Rule of Law selama ini begitu ampuh maka interaksi kritis dan cerdas tak terjadi dalam merumuskan ideologi hukum maka Pancasila dan UUD 1945 menjadi dokumen yang mati: konstitusi yang mati. Padahal konstitusi itu kan musti dipandang sebagai ‘a living constitution’. Karena itulah suatu perlawanan beradab dan cerdas terhadap konstitusi tak perlu diharamkan, wacana itu harus diberi tempat. Kalau ini terjadi maka rumusan ideologi hukum kita lebih tajam dan tanggap terhadap tuntutan perubahan jaman yang begitu cepat. Dan apabila masyarakat hukum kita sama cerdasnya dalam melahirkan apa yang disebut oleh Tigar dan Levy sebagai ’jurisprudence of insurgency’maka saya yakin bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar. Hanya kita perlu waspada dan cerdas dalam melahirkan ’jurisprudence of insurgency’ ini agar dia bukan merupakan penjungkir balikan total terhadap ideologi hukum yang berlaku karena sesungguhnya makna ’jurisprudence of insurgency’ adalah penjungkiran balik sistem yang berlaku dan menggantinya dengan sistem sosial yang baru. Simaklah kata-kata Tigar dan Levy di bawah ini:
"The term jurisprudence of insurgency' describes a certain kind of jurisprudential activity, in which a group challenging the prevailing system of social relations no longer seeks to reform it but rather to overthrow it and replace it with another"

Dalam pertarungan nilai-nilai dan ideal-ideal yang cerdas inilah kita musti menempatkan diri kita. Sayangnya selama ini kita tenggelam ditengah pertarungan antara `bourgeous legal ideology' dengan `socialist legal ideology' . Kita kurang berhasil melepaskan diri dari pertarungan itu dan akhirnya keluar dengan kompromi yang dalam realitas keseharian kita melahirkan keadaan yang setengah-setengah atau seolah-olah.

Kita memang sempat tersadarkan ketika reformasi bergulir pasca kejatuhan pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Disitulah reformasi konstitusional mulai terjadi, dan walaupun tak menghasilkan konstitusi ideal yang diharapkan tetapi semangat untuk melahirkan seperangkat cita-cita dan nilai-nilai yang menuju kepada Indonesia Baru kembali lahir. Demokrasi mulai bersemai, sentralisasi diganti dengan desentralisasi, dan Rule of Law mulai jadi acuan. Banyak yang tergusur tetapi banyak juga yang muncul. Ada harapan yang membuat kita semua optimistis.

Delapan tahun reformasi bergulir kita kembali dihadapkan kepada gejala melemahnya ideologi hukum dan Rule of Law. Lembaga-lembaga penegak hukum kembali kepada masa lalu yang rentan akan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan pengkhianatan terhadap keadilan. Fundamentalisme agama merebak mengancam bingkai kemajemukan bangsa.

Korupsi tak berhenti. Tapi hukum tak berdaya. Pilar-pilar negara hukum itu ternyata keropos dan memang cenderung anti-reformasi. Tidak salah jika sekarang banyak yang bertanya quo vadis negara hukum?

Kuliah Perdana Malam Penerimaan Mahasiswa Baru Program Pascasarjana - Universitas Surabaya - Surabaya, 15 September 2006