joomla templates
A+ R A-

"WHISTLE BLOWER" DUA JUTA DOLLAR

book

Wakil Direktur Kebijakan Koordinasi dari Komisi Independen Pemberantasan Korupsi Korea Selatan Nona Seon Yim mengatakan, di negerinya, whistle blower atau peniup peluit bisa mendapat reward dua juta dollar AS, penghargaan lain: dijamin tak akan diberhentikan dari pekerjaan dan perlindungan khusus bila ada ancaman.

Banyak peserta Konferensi PBB tentang Antikorupsi (The United Nations Convention Against Corruption) di Laut Mati, Jordania, tertegun. Begitu hebat semangat pemberantasan korupsi di Korsel.

Tak dijelaskan berapa besar anggaran yang disediakan dan berapa banyak peniup peluit yang sudah mendapat reward. Anggaran yang disediakan agaknya cukup besar. Korsel adalah negara yang cukup sarat dengan korupsi meski tidak separah Indonesia. Akan tetapi, Pemerintah Korsel dikenal tegas membabat korupsi. Berapa konglomerat besar (chaebol) dijerat korupsi. Dua mantan Presiden Korea Selatan, Chun Do Wan dan Roh Tae Woo, pun dipaksa menjalani hukuman penjara sebelum akhirnya mendapat pengampunan dari Presiden Korsel. Kejadian ini tidak kita temui di Indonesia.

Program perlindungan dan penghargaan terhadap peniup peluit memang penting jika kita ingin berhasil memberantas korupsi, karena betapa sulitnya membongkar korupsi di Indonesia. Kita tahu, hampir tak ada bukti-bukti yang menurut hukum bisa dianggap sebagai prima facie evidence. Kalaupun ada laporan korupsi masuk ke kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Transparency International-Indonesia, 99,9 persen tak disertai bukti-bukti otentik. Bukti yang diajukan hanya salinan atau fotokopi. Celakanya, laporan seperti ini sering dianggap surat kaleng dan fitnah, lalu tak diproses. Padahal, laporan itu seharusnya dijadikan petunjuk awal. Namun, siapa yang mau susah mencari koruptor yang tak pasti jejaknya. Lain halnya jika ada tekanan dari pihak luar.

”Cash and carry”

Kini, korupsi makin bersifat cash and carry. Pemenang tender sering mengirim koper berisi uang kepada panitia tender, atau dengan berbagai penyamaran mentransfer sogokan dalam rekening di luar negeri (off shore transfer). Jejaknya tak ada di luar negeri. Yang penting ada kontrak proforma agar transaksi di luar negeri tidak dipersoalkan. Model korupsi ini sulit dilacak oleh badan seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pemenang tender pun akan aman secara hukum.

Mafia peradilan yang bertahun-tahun menjadi noktah hitam pemberantasan korupsi tak pernah terberantas karena para pelaku amat lihai. Dalam omongan di luar pengadilan sering terdengar gosip hakim yang doyan uang dan amat kaya, tetapi sulit dibuktikan, kecuali jika kekayaan itu bisa disebut bukti kekayaan tidak halal. Pembuktian terbalik tak berlaku di negeri ini meski dalam beberapa pasal peraturan perundangan pembuktian terbalik sudah dianut. Para hakim berpendapat, barangsiapa mendalilkan sesuatu, dia wajib membuktikannya. Siapa bisa membuktikan korupsi hakim? Siapa bisa membuktikan advokat menyuap? Yang ada adalah putusan yang aneh dan tak berdasar fakta, bukti, dan hukum yang berlaku. Tidak puas? Silakan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Satu-satunya yang bisa membantu membongkar korupsi adalah program perlindungan dan penghargaan peniup peluit. Pemerintah perlu mengatur lebih teknis apa yang sudah dibuat dalam UU Perlindungan Saksi sehingga tujuan pemberantasan korupsi bisa tercapai. Seorang peniup peluit yang membongkar korupsi di kantor di mana dia bekerja dijamin tak akan dimutasikan atau diberhentikan. Ini penting, karena hukuman semacam ini gampang dijatuhkan. Coba lihat Khairiansyah Salman, peniup peluit korupsi di KPU. Kini ia dituduh korupsi dalam kasus Dana Abadi Umat dan dalam waktu dekat akan diadili. Mengapa Khairiansyah menjadi peniup peluit padahal dia konon pernah korupsi? Mengapa Khairiansyah repot-repot membongkar korupsi di KPU, atau mengapa tidak ikut korupsi sekalian? Tetapi dia melakukannya. Mengherankan, KPK tidak bisa melindungi peniup peluit.

Identitas dan alamat baru

Diadilinya seorang peniup peluit karena membongkar korupsi menunjukkan tiadanya komitmen untuk melindungi peniup peluit. Dampaknya amat serius. Pengadilan ini adalah peringatan bagi seseorang yang mau menjadi peniup peluit. Bisa saja dia dipersalahkan untuk kasus lain yang tak terkait korupsi yang dibongkarnya. Setidaknya dia bisa dituduh mencemarkan nama baik. Endin Wahyudi pernah mengalami hal ini. Tragisnya, ia dinyatakan bersalah dan dihukum oleh pengadilan.

Dalam kasus korupsi skala besar, peniup peluit sering menerima teror atau pembunuhan. Nasib wartawan Udin di Yogyakarta yang terbunuh karena membongkar korupsi adalah contoh segar. Maka, tidak mengherankan jika para peniup peluit merasa tak aman hidupnya. Di sinilah pemerintah perlu punya program perlindungan yang luas cakupannya. Jika perlu, mengganti identitas dan menyediakan alamat baru.

Ada kalanya, membongkar korupsi hanya bisa dilakukan oleh mitra korupsinya. Ingat, korupsi sering hasil kerja banyak orang, misalnya korupsi untuk mengegolkan RUU. Pertanyaannya, apakah mitra korupsi yang tiba-tiba tobat lalu membongkar korupsi akan mendapat perlindungan dan penghargaan?

Niat membongkar korupsi harus dihargai meski tidak berarti tidak dihukum. Diusulkan diperkenalkannya lembaga plea bargaining dalam kasus seperti ini di mana peniup peluit akan mendapat keringanan hukuman, seperti kasus Enron di AS.

Jika semua itu ditambah dengan reward seperti di Korsel, diyakini akan banyak peniup peluit yang berani keluar dari sarangnya. Kepolisian, kejaksaan, KPK dan pengadilan akan kebanjiran kasus-kasus korupsi sebelum akhirnya korupsi turun ke titik terendah. Budaya takut korupsi akan mulai terbentuk.

Kompas, Selasa, 19 Maret 2006