joomla templates
A+ R A-

Karaha Bodas, Sampai Kapan

book

Berita mengenai Karaha Bodas muncul kembali dimana Pertamina diharuskan membayar klaim Karaha Bodas akibat pembatalan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat pada tahun 1997. Konon jumlah klaim yang musti dibayar sudah diatas angka US $ 300 juta, suatu jumlah yang tidak sedikit buat sebuah perusahaan seperti Pertamina yang sesungguhnya tidak sepenuhnya sehat. Dipastikan jumlah ini akan terus membesar seiring dengan perjalanan waktu karena adanya jumlah bunga dan penalty yang merupakan kewajiban akibat terlambatnya pembayaran.

Adalah aneh bahwa sampai hari ini pihak Pertamina dan pemerintah masih juga bersilang pendapat tentang pembayaran klaim Karaha Bodas ini. Pada satu sisi pihak Pertamina mengatakan tidak mau membayar klaim tersebut sembari menghidupkan kembali rencana penyidikan pidana yang diduga dilakukan oleh orang-orang Karaha Bodas. Sebaliknya pada sisi lain ada pernyataan pemerintah yang menghendaki pembayaran walau tak dijelaskan sumber pembiayaan untuk itu berasal dari mana sehingga beberapa anggota DPR sudah berteriak agar sumber pembiayaannya dijelaskan. Wacana ini terus bergulir tanpa ada keputusan. Dan wacana ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Sayang, tidak disadari oleh mereka yang berwacana bahwa beberapa rekening Pertamina di Bank of New York dan Bank of America sudah diblokir oleh Karaha Bodas.

Nasehat saya kepada Pertamina dan pemerintah adalah segera membayar klaim Karaha Bodas karena putusan arbitrase intemasional yang memenangkan Karaha Bodas itu adalah putusan yang ‘final and binding’. Sejuta upaya hukum yang dilakukan dan akan dilakukan tak akan merubah fakta bahwa Pertamina sudah dikalahkan oleh arbitrase internasional. Dan berdasar doktrin hukum internasional putusan arbitrase internasional yang notabene merupakan pilihan para pihak yang bersengketa adalah putusan yang tak bisa disbanding, dan peluang untuk dibatalkan sangat kecil untuk tidak dikatakan tak ada sama sekali. Teori dan praktek hukum internasional sudah terlalu baku untuk bisa dilawan oleh upaya hukum nasional yang akan membatalkan putusan arbitrase internasional. Bacalah UU No 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang secara tegas mengakui keberadaan putusan arbitrase intemasional. Disini pelaksanaan (enforcement) putusan arbitrase internasional itu bisa dimintakan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan bila ditolak oleh Pengadilan maka bisa dimintakan banding kepada Mahkamah Agung.

Harap dicatat bahwa putusan arbitrase internasional ‘by law’ bisa dimintakan pembatalan tetapi dalam banyak kasus pembatalan itu jarang dikabulkan. Sebaliknya majelis arbitrase internasional sering mengabaikan putusan pengadilan domestik yang membatalkan putusan arbitrase internasional. Jadi sebaiknya pihak Pertamina dan pemerintah segera menyadari bahwa tenaga, energi dan dana tak perlu dihamburkan karena hampir pasti tak akan ada pembatalan terhadap putusan arbitrase intemasional tersebut. Dalam konteks ini patut juga dicatat bahwa Indonesia adalah negara yang sudah mengikatkan diri pada Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award melalui Keppres No 34/1981. Sebagai negara yang meratifikasi Convention tersebut kewajiban untuk melaksanakan putusan arbitrase internasional adalah suatu hal yang tak mungkin dihindarkan.

Nasehat untuk membayar ini pasti dianggap tidak nasionalis. Tetapi ini kan bukan soal nasionalis atau tidak nasionalis. Ketika Indonesia secara sadar memilih menjadi warga aktif dari masyarakat antar bangsa yang diikat oleh keterbukaan maka keterikatan akan kaedah-kaedah hukum internasional menjadi bagian dari ‘Rule of the Game’. Indonesia kan tidak memilih untuk menjadi Korea Utara, Kuba atau Myanmar yang mbalelo terhadap kaedah-kaedah hukum internasional. Sekarang waktunya Indonesia berhitung tentang untung rugi membayar klaim Karaha Bodas ini. Tak bisa dibantah bahwa Indonesia pasti rugi, tetapi dalam bisnis kerugian itu adalah risiko yang musti dihadapi dengan bijak termasuk dalam melakukan apa yang disebut ‘cut lost’

Kasus Karaha Bodas adalah pelajaran mahal yang amat berharga. Dari segi hukum saya termasuk orang yang percaya bahwa proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Karaha Bodas adalah proyek yang bisa jadi sarat dengan KKN dan ‘mark up’ yang berlebihan. Pokoknya proyek ini adalah proyek yang tidak layak. Tetapi dugaan KKN dan ‘mark up' tersebut tak pemah diusut sehingga dugaan tersebut tak bisa dikapitalisir menjadi senjata ampuh untuk membela diri dalam proses arbitrase padahal kalau hal ini dilakukan maka bukan mustahil Karaha Bodas akan diusut di Amerika karena melanggar Foreign Corrupt Practices Act. Lihatlah apa yang terjadi pada Monsanto yang di investigasi di Amerika karena dugaan KKN di Indonesia untuk proyek kapas transgenik yang ditanamnya di Indonesia. Alih-alih kalah di arbitrase, bisa-bisa Karaha Bodas yang dikenakan hukuman di Amerika.

Dimana letak salahnya? Terus terang saya tak bisa menjawab ini. Menyalahkan kuasa hukum Pertamina tentu dapat dilakukan tetapi kesalahan yang utama ada pada pihak Pertamina dan pemerintah. Strategi arbitrase Pertamina dan pemerintah gagal menghadapi klaim Karaha Bodas yang lebih siap dan didukung oleh dokumentasi dan argumentasi yang meyakinkan. Padahal sesungguhnya pembatalan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Karaha Bodas adalah akibat krisis ekonomi regional yang menghantam negeri ini sehingga semua proyek infrastruktur dibatalkan. Krisis itu adalah keadaan force majeur yang berada diluar kemampuan para pihak. Fakta ini adalah fakta yang tak terbantahkan, suatu prima facie evidence yang seharusnya menjadi defense yangsangat kuat. Sungguh saya heran bahwa Pertamina dan pemerintah tak mampu memobilisasi semua bukti dan argument yang kuat untuk mematahkan klaim Karaha Bodas. Ada apa sesungguhnya? Apakah ini karena adanya “kepentingan” yang bermain sehingga tabir asap Karaha Bodas harus terus dipertahankan walau untuk itu Pertamina dan pemerintah harus dikorbankan?

Taruhan yang ada pada tidak selesainya klaim Karaha Bodas ini sangatlah besar. Persepsi bahwa pemerintah Indonesia tidak menghormati hukum internasional akan semakin kuat dan ini pasti akan menjadi kendala negatif yang membuat penanam modal asing enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Betapa sia-sianya road show yangdilakukan oleh baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Wakil Presiden Jusuf Kalla ke berbagai negara mengundang masuknya modal asing. Dari perspektif cost and benefit saya percaya bahwa penyelesaian kasus Karaha Bodas akan menghilangkan duri dalam sepatu sehingga tak banyak lagi ganjalan berarti dalam iklim kepastian hukum. Dengan kata lain, akan lebih baik menerima puluhan penanaman modal asing dan membayar klaim Karaha Bodas ketimbang tidak membayar klaim Karaha Bodas dan menerima sedikit penanaman modal asing.

Disini kita bicara mengenai volume. Jumlah penanaman modal asing sekarang masih sangat sedikit terutama di sektor pertambangan. Untuk mengejar angka pertumbuhan ekonomi tinggi yang sekaligus mendorong terciptanya lapangan kerja, pemerintah harus berani mengambil keputusan tidak popular meski dituduh tidak nasionalis. Biarlah sejarah membuktikan siapa yang tidak nasionalis. Buat saya meningkatnya kemakmuran dan berkurangnya pengangguran adalah karya nasionalistik yang kongkrit. Pada akhimya nasionalisme bukanlah soal retorika politik.